Blog

isi dunk

YM-an Yuuuk

what time is it?

Visitor_Ku

Small text message

Sekolah Mnyenangkan ?!?

Kamis, 16 Oktober 2008 - - 0 Comments

utama
Sekolah.

Jujur ya, apakah kalian suka sekolah? Atau justru benci? Saya juga pernah menjadi seorang murid/ mahasiswa. Dan banyak hal yang membuat kebanyakan kita tidak suka [bahkan sampai pada taraf membenci] sekolah.

Lalu, kenapa sih kita kadang ga suka sekolah?



Saya tidak pernah belajar psikologi atau apalagi tentang ilmu pendidikan secara teroritis. Jadi ini hanya tulisan subjektif saja dari apa yang saya rasakan dan saya khayalkan.

Saya sendiri sebetulnya tidak terlalu suka juga. Membayangkan bahwa setiap hari selama enam hari dalam seminggu –selama 8 jam tiap harinya –waktu kita dihabiskan di sekolah. Duduk dikelas, mendengarkan guru memberikan pelajaran –pelajaran yang bahkan membuat kita pusing dan muak. Ada yang kita sukai –itu membuat kita senang, dan ada juga yang dibenci. Bayangka, itu terjadi selama 12 tahun ! Bahkan akan bertambah jika kita masuk kuliah.

Tapi kemudian apa yang membuat kita [seharusnya] bisa mencintai sekolah, agar sekolah bukan hanya dipandang sebagai pendoktrinan, agar sekolah tak dipandang sebagai tempat yang membosankan? Agar sekolah bisa dipandang sebagai tempat yang menyenangkan untuk tumbuh dan berkembang bagi anak –anak, dimana mereka bisa mendapatkan ilmu yang bisa menggali potensi mereka dan meningkatkan kualitas diri mereka, agar sekolah bisa menjadi tempat untuk bersosialiasi dan tempat bermain sebagaimana adanya mereka sebagai anak –anak –intinya menjadi tempat yang bisa membuat anak –anak bahagia?

Banyak faktor, mungkin. Namun bagi saya pribadi, yang juga telah mencicipi bangku sekolah selama 12 tahun, salah satu faktor itu adalah guru.

Ya, guru. Bagaimana saya bisa tetap bertahan di sekolah dan bersedia tinggal dikelas? Salah satunya, karena saya mengagumi dan menyenangi cara mengajar guru saya. Guru yang menyenangkan, yang tahu bagaimana cara bergaul dengan muridnya.

Saya pernah begitu merindukan salah satu kelas di kampus. Saya pergi dengan semangat untuk mengikuti sebuah mata kuliah. Mengapa? Hanya karena saya menyukai cara dosen saya mengajar. Saya sampai menangis di kelas karena terharu dengan apa yang beliau paparkan –saat itu beliau membahas tentang kemiskinan di Asia dan dunia.

Lalu, apa yang diharapkan seorang murid dari gurunya? Seperti apakah sosok seorang guru yang bisa membuat anak –anak bahagia?

Mengutip dari penjelasan A.S Neil -pendiri summerhill school, bahwasanya anak –anak itu egois dan bahwasanya dunia ini adalah milik mereka. Jadi saya pikir, wajar jika anak banyak menuntut ingin begini- ingin begitu dari gurunya. Namun pada dasarnya mereka adalah intisari cinta. Makhluk yang penuh rasa sayang.

Tentunya, kita tak bisa se –ekstrim Onizuka Eikichi dalam menempuh karir sebagai guru, dimana dia menggunakan cara –cara “kontroversial” dalam menyelesaikan tiap masalah di sekolah. Tapi filosofis onizuka sebagai pengajar mungkin bisa ditiru. Misalnya dia mengatakan bahwa dia bahagia menjadi seorang guru, dan dia mengatakan “aku ingin membuat anak –anak mencintai sekolah dan kembali ke sekolah” (kira –kira begitulah makna yang dapat saya tanggap. “I’l make this school fun!”

Bagaimana bisa murid –murid begitu mencintai onizuka padahal dia sama sekali tidak punya latar pendidikan guru? Itulah. Seperti yang tadi saya katakan, salah satunya adalah karena dia memahami muridnya. Inilah yang membuat dia dicintai. Dia tidak hanya memposisikan diri sebagai guru yang hanya menjejali murid dengan pelajaran –pelajaran, tapi dia bisa menjadi ayah, kakak, guru, sekaligus teman bermain dan belajar bagi muridnya.

Anak –anak, tidak dipandang sebagai pengacau dan mengerikan. Apalagi pada usia remaja. Sekolah bagi mereka selalu dianggap suatu hal yang ‘alergi’. Padahal yang mereka butuhkan adalah teman bercerita, bukan jejalan nasehat. Mereka ingin di dengar dan di perhatikan.

Dan cara bergaul seperti itu dengan murid, secara teknis, tidak diajarkan pada para calon guru. Kita biasanya hanya terjebak dalam teori –teori yang menjemukan. Dan pada kenyataannya, ketika kita menerapkannya langsung di lapangan, kadang teori –teori itu menjadi teramat sulit. Dan yang diperlukan adalah –saat kita ingin menjadi seorang guru yang baik, kita belajar langsung dari murid kita sendiri.

Para guru harus lebih kreatif membuat para siswanya merasa bahagia. Masuklah dalam dunia anak –anak dan remaja secara pelan –pelan. Dengarkan mereka secara hati –hati. Maka mereka tidak akan lari, mereka justru akan mencintai. Kita akan mendapati bahwa mereka adalah makhluk istimewa yang imajinatif.

Jadi? Sekolah itu bisa jadi tempat menyenangkan juga bukan?

Read More… Read More…

sekolah

Kamis, 28 Agustus 2008 - - 0 Comments

tersaerah



aq mau sekolah ntuh ngak ngebosenin


tapi gmn ya caranya??
Read More… Read More…

Agar Madrasah Tak Jadi Anak Tiri

Kamis, 21 Agustus 2008 - - 0 Comments

Saudara Ahmad Khoirul Fata (selanjutnya disingkat AKF) dalam tulisannya di harian Republika pada tanggal 28 Februari 2006 di bawah judul Anak Tiri Itu Bernama Madrasah secara gamblang mengungkapkan betapa dunia madrasah sampai hari ini masih mendapat perlakuan tidak adil dari pemerintah. AKF menyimpulan ketidakadilan tersebut karena adanya Surat Edaran (SE) Mentri Dalam Negeri (Mendagri), Moh Ma'ruf, tanggal 21 September 2005 No 903/2429/SJ tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2006 yang melarang pemerintah daerah untuk mengalokasikan APBD kepada organisasi vertikal. Sementara madrasah (juga pesantern) sebagai lembaga pendidikan Islam selama ini berada di bawah koordinasi Departemen Agama yang termasuk organisasi vertikal karena agama adalah bidang yang tidak diberi kewenangan otonomi.

Seperti diungkapkan AKF, SE Mendagri itu telah memicu keberatan dari banyak pihak terkait di jajaran pendidikan agama Islam. Hal ini disebabkan karena kalau surat edaran itu dipatuhi oleh semua kepala daerah, maka masalah klasik yang dihadapi oleh dunia madrasah yang sering diberlakukan tidak adil (AKF lebih suka menyebutnya dengan "anak tiri") akan terus berlanjut tanpa solusi.



Saya sepakat dengan saudara AKF bahwa pemberlakuan surat itu jelas akan terus memperpanjang dan memperlebar disparitas dunia madrasah dengan sekolah umum di bawah binaan Depdiknas. SE itu diyakini akan semakin mengoyak luka yang sebenarnya masih belum sembuh akibat ketidakadilan politik pendidikan terhadap madrasah selama puluhan tahun. SE itu jelas juga bukan solusi terbaik dalam konteks penataan ulang manajemen pendidikan nasional kita dalam rangka pencapaian tujuan mulia peningkatan kualitas pendidikan nasional, dimana madrasah adalah salah satu entitas pendidikan yang tak mungkin (baca: tak boleh) dilupakan.

Sebagai seorang yang lahir, tumbuh, dan mengabdi di dunia madrasah, saya dan hampir seluruh keluarga besar madrasah telah merasakan bahwa betapa isu tentang anak tiri ini bukanlah isapan jempol belaka. Tapi isu itu benar adanya. It's real and undeniable. Bahkan saya pernah komplain langsung kepada seorang kepala daerah dimana saya bertugas terkait kenyataan tentang penganaktirian madrasah oleh pemerintahan daerah. Dengan enteng sang kepala daerah menjawab, "Hal ini lumrah karena madrasah bukan anak kandung saya," katanya. Beberapa tulisan saya di media sebelumnya telah secara gamblang menjelaskan betapa telah banyak korban berjatuhan dalam dunia madrasah akibat pemberlakukan kebjiakan (yang sebenarnya tidak bijak) itu.

Rendahnya rata-rata kualitas output pendidikan madrasah, terbatasnya sarana dan parasarana belajar, terbatasnya jumlah guru, rendahnya kualitas guru madrasah, kurangnya kesejahteraan guru, lemahnya kemampuan manajerial kepala madrasah, dan tidak dijadikannya madrasah sebagai pilihan orang tua untuk menitipkan pembinaan anak-anak mereka adalah sebagian dari rantai permasalahan yang bak lingkaran setan melilit madrasah kita. Seperti yang dikatakan Tilar (2003) salah satu akar permasalahan yang menjadikan madrasah seperti ini adalah karena sejak lama dunia madrasah mendapat perlakuan tidak adil dari pemerintah, baik oleh pemerintahan kolonial maupun pemerintah pasca Indonesia merdeka.

Ketidakadilan yang paling mencolok adalah dalam hal pengalokasian anggaran pendidikan yang hanya memprioritaskan sekolah negeri (umum), sebaliknya anggaran yang dialokasikan untuk pengembangan madrasah sangat terabaikan dan terlalu kecil. Sebagai contoh, unit cost per anak per tahun untuk jenjang madrasah aliyah (MA) adalah Rp. 4.000, sedangkan untuk SMU sekitar Rp. 400.000. Perbedaannya 100 kali lipat. (Mashuri, 2003).

Kesenjangan lain juga terlihat dalam hal penyediaan guru oleh pemerintah. Data dari Depag tahun 2004 menjelaskan bahwa dari 456.281 guru madrasah saat ini hanya 17,3 persen berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Berarti, 82 persen lebih mengabdi dengan status non-PNS. Pada jenjang ibtidaiyah, dari 196.374 guru hanya 19 persen berstatus PNS. Pada jenjang tsanawiyah, dari 192.279 guru hanya 14,6 persen berstatus PNS. Pada jenjang aliyah, dari 67.628 guru hanya 20 persen berstatus PNS.

Secara lebih spesifik, di jawa Tengah, misalnya, data menunjukkan bahwa dari total 5.156 madrasah di Jawa Tengah, 94,69 persen (5.445 madrasah) berstatus swasta, dan selebihnya negeri. Sementara dari total 69.132 guru madrasah, 57.639 orang di antaranya merupakan guru swasta atau 83,37 persen, dan hanya sekitar 16 persen saja yang berstatus guru negeri (Republika, 29/03/2006).

Ketidakadilan ini jelas satu hal yang sungguh ironis, karena tak bisa dibantah bahwa madrasah lahir tumbuh dan besar dari rahim anak bangsa ini. Madrasah juga telah memberikan kontribusi luar biasa terhadap proses pembinaan anak bangsa ini selama ratusan tahun, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Madrasah juga telah berperan signifikan dalam mensuksekan program wajib belajar yang dicanangkan pemerintah.

Alternatif Solusi

Agar madrasah tidak terus dijadikan anak tiri dalam kebijakan politik pendidikan di negeri ini, mendesak diperlukan kebijakan politik baru terkait kesejajaran madrasah dengan sekolah umum ini. Sepertinya ide ketua Komisi VIII DPR RI, Zuber Safawi, yang mengusulkan kepada pemerintah untuk membuat PP yang mengatur kesetaraan madrasah dengan sekolah umum patut dipertimbangkan.

Sekalipun sesungguhnya dalam UU No. 20/2003 tentang sistem Pendidikan Nasional khususnya pasal pasal 17 ayat 2 dan pasal 18 ayat 3, sudah sangat jelas menyebutkan bahwa status madrasah tidak hanya ditempatkan sederajat dengan sekolah umum, melainkan sama persis dengan sekolah umum, namun keberadaan PP masih sangat diperlukan sebagai petunjuk teknis semua pihak terkait tentang pengamalan pasal ini di lapangan. Dengan PP, akan ada perangkat hukum yang sangat kuat untuk menjaga agar pendidikan di madrasah tidak terus menerus dianaktirikan.

Kalau pemerintah tidak mau mengeluarkan PP terkait masalah ini, maka pemerintah harus mengalokasikan dana yang cukup untuk madrasah melalui penambahan anggaran Departemen Agama. Sekalipun anggaran yang besar bukanlah segalanya, tapi diyakini anggaran yang cukup akan berpengaruh signifikan terhadap dunia madrasah. Hanya dengan cara inilah, masalah klasik madrasah terkait kekurangan anggaran akan bisa diselasaikan dan perasaan menjadi anak tiri pemerintah bisa dieliminir.

Alternatif solusi lainnya adalah dengan mempertimbagkan kembali ide yang sebenarnya sudah lama disuarakan oleh beberapa kalangan, yaitu adanya pendapat yang menginginkan pendidikan satu atap di negeri ini. Seperti yang diungkapkan AKF bahwa fenomena penganaktirian madrasah sesungguhnya adalah konsekwensi dari pemberlakuan dualisme manajemen pendidikan di negeri ini yang berlangsung sudah sejak lama. Maka terkait dengan masalah dualisme pendidikan ini, ide tentang pendidikan satu atap ini juga layak kembali dipertimbangkan.

Menurut saya ketika semangat otonomi pendidikan menjadi isu sentral dalam reformasi pendidikan nasional, maka madrasah seharusnya include dalam semangat otonomi itu. Ada banyak alasan ilmiah yang menguatkan bahwa otonomi pendidikan diyakini akan mendatangkan kemaslahatan terhadap peningkatan kualitas pendidikan nasional di masa datang. Masalahnya adalah sekalipun madrasah sesungguhnya bergerak di bidang pendidikan yang sudah ditonomikan, selama ini madrasah berada dalam jalur birokrasi Departemen Agama yang tidak diberikan wewenang otonomi, maka akibatnya jadilah madrasah sebagai anak tiri oleh pemerintahan daerah.

Sebagai pendidik saya berkeyakinan bahwa pendidikan satu atap, dimana pendidikan hanya dikelola oleh satu departemen, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, akan memberikan dampak luar bisa kepada perkembangan madrasah pada masa datang. Apalagi UU No.20/2003 telah menegaskan bahwa madrasah dalam banyak hal, seperti dalam hal kedududukan, status, dan kurikulum sama persih dengan sekolah umum, maka secara yuridis ide pendidikan satu atap ini sesungguhnya telah memiliki landasan hukum yang sangat kuat.

Pada tataran praktis, kalau ummat Islam khawatir memudarnya idealisme pendidikan Islam di madrasah, kenapa tidak dibuka saja satu jurusan baru di SMA, jurusan Pendidikan Agama Islam misalnya, yang khusus mengakomodir keinginan peserta didik untuk mempelajari agama Islam secara lebih mendalam? Apalagi bukankah juga sudah ada ribuan pesantern yang memfasilitasi keinginan itu?

Saya yakin wacana tentang "pendidikan satu atap ini" sangat debatable, karena ada banyak kepentingan di situ. Tapi poin saya adalah semua kalangan dalam pendidikan Islam tidak boleh berhenti mencarikan solusi terbaik agar madrasah tidak terus menerus menjadi anak tiri, agar madrasah bisa "dipangku ibu pertiwi" dalam makna yang sesungguhnya. Wallahu alam bissawab

* Afrianto Daud adalah guru MAN 3 Batusangkar Sumatera Barat, Kandidat Master of Education, Monash University, Melbourne, Australia

Read More… Read More…

Sekolah Unggulan yang Tidak Unggul

- - 0 Comments

Kualitas manusia Indonesia rendah telah menjadi berita rutin. Setiap keluar laporan Human Development Index, posisi kualitas SDM kita selalu berada di bawah. Salah satu penyebab dan sekaligus kunci utama rendahnya kualitas manusia Indonesia adalah kualitas pendidikan yang rendah. Kualitas sosial-ekonomi dan kualitas gizi-kesehatan yang tinggi tidak akan dapat bertahan tanpa adanya manusia yang memiliki pendidikan berkualitas.

Negeri ini sedang berjuang keras untuk meningkatkan kualitas pendidikan, namun hasilnya belum memuaskan. Kini upaya meningkatkan kualitas pendidikan ditempuh dengan membuka sekolah-sekolah unggulan, misal Sekolah Taruna Nusantara. Sekolah unggulan dipandang sebagai salah satu alternatif yang efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan sekaligus kualitas SDM. Sekolah unggulan diharapkan melahirkan manusia-manusia unggul yang amat berguna untuk membangun negeri yang kacau balau ini. Tak dapat dipungkiri setiap orang tua menginginkan anaknya menjadi manusia unggul. Hal ini dapat dilihat dari animo masyarakat untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah-sekolah unggulan. Setiap tahun ajaran baru sekolah-sekolah unggulan dibanjiri calon siswa, karena adanya keyakinan bisa melahirkan manusia-masnusia unggul. Benarkan sekolah-sekolah unggulan kita mampu melahirkan manusia-manusia unggul?



Sebutan sekolah unggulan itu sendiri kurang tepat. Kata “unggul” menyiratkan adanya superioritas dibanding dengan yang lain. Kata ini menunjukkan adanya “kesombongan” intelektual yang sengaja ditanamkan di lingkungan sekolah. Di negara-negara maju, untuk menunjukkan sekolah yang baik tidak menggunakan kata unggul (excellent) melainkan effective, develop, accelerate, dan essential (Susan Albers Mohrman, et.al., School Based Management: Organizing for High Performance, San Francisco, 1994, h. 81).

Dari sisi ukuran muatan keunggulan, sekolah unggulan di Indonesia juga tidak memenuhi syarat. Sekolah unggulan di Indonesia hanya mengukur sebagian kemampuan akademis. Dalam konsep yang sesungguhnya, sekolah unggul adalah sekolah yang secara terus menerus meningkatkan kinerjanya dan menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal untuk menumbuh-kembangkan prestasi siswa secara menyeluruh. Berarti bukan hanya prestasi akademis saja yang ditumbuh-kembangkan, melainkan potensi psikis, fisik, etik, moral, religi, emosi, spirit, adversity dan intelegensi.

Konsep Sekolah Unggulan
Sekolah unggulan yang sebenarnya dibangun secara bersama-sama oleh seluruh warga sekolah, bukan hanya oleh pemegang otoritas pendidikan. Dalam konsep sekolah unggulan yang saat ini diterapkan, untuk menciptakan prestasi siswa yang tinggi maka harus dirancang kurikulum yang baik yang diajarkan oleh guru-guru yang berkualitas tinggi. Padahal sekolah unggulan yang sebenarnya, keunggulan akan dapat dicapai apabila seluruh sumber daya sekolah dimanfaatkan secara optimal. Berati tenaga administrasi, pengembang kurikulum di sekolah, kepala sekolah, dan penjaga sekolah pun harus dilibatkan secara aktif. Karena semua sumber daya tersebut akan menciptakan iklim sekolah yang mempu membentuk keunggulan sekolah.

Keunggulan sekolah terletak pada bagaimana cara sekolah merancang-bangun sekolah sebagai organisasi. Maksudnya adalah bagaimana struktur organisasi pada sekolah itu disusun, bagaimana warga sekolah berpartisipasi, bagaimana setiap orang memiliki peran dan tanggung jawab yang sesuai dan bagaimana terjadinya pelimpahan dan pendelegasian wewenang yang disertai tangung jawab. Semua itu bermuara kepada kunci utama sekolah unggul adalah keunggulan dalam pelayanan kepada siswa dengan memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensinya. Menurut Profesor Suyanto, program kelas (baca: sekolah) unggulan di Indonesia secara pedagogis menyesatkan, bahkan ada yang telah memasuki wilayah malpraktik dan akan merugikan pendidikan kita dalam jangka panjang. Kelas-kelas unggulan diciptakan dengan cara mengelompokkan siswa menurut kemampuan akademisnya tanpa didasari filosofi yang benar. Pengelompokan siswa ke dalam kelas-kelas menurut kemampuan akademis tidak sesuai dengan hakikat kehidupan di masyarakat. Kehidupan di masyarakat tak ada yang memiliki karakteristik homogen (Kompas, 29-4-2002, h.4).

Bila boleh mengkritisi, pelaksanaan sekolah unggulan di Indonesia memiliki banyak kelemahan selain yang dikemukakan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta di atas. Pertama, sekolah unggulan di sini membutuhkan legitimasi dari pemerintah bukan atas inisiatif masyarakat atau pengakuan masyarakat. Sehingga penetapan sekolah unggulan cenderung bermuatan politis dari pada muatan edukatifnya. Apabila sekolah unggulan didasari atas pengakuan masyarakat maka pemerintah tidak perlu mengucurkan dana lebih kepada sekolah unggulan, karena masyarakat akan menanggung semua biaya atas keunggulan sekolah itu.

Kedua, sekolah unggulan hanya melayani golongan kaya, sementara itu golongan miskin tidak mungkin mampu mengikuti sekolah unggulan walaupun secara akademis memenuhi syarat. Untuk mengikuti kelas unggulan, selain harus memiliki kemampuan akademis tinggi juga harus menyediakan uang jutaan rupiah. Artinya penyelenggaraan sekolah unggulan bertentangan dengan prinsip equity yaitu terbukanya akses dan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk menikmati pendidikan yang baik. Keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan ini amat penting agar kelak melahirkan manusia-manusia unggul yang memiliki hati nurani yang berkeadilan.

Ketiga, profil sekolah unggulan kita hanya dilihat dari karakteristik prestasi yang tinggi berupa NEM, input siswa yang memiliki NEM tinggi, ketenagaan berkualitas, sarana prasarana yang lengkap, dana sekolah yang besar, kegiatan belajar mengajar dan pengelolaan sekolah yang kesemuanya sudah unggul. Wajar saja bila bahan masukannya bagus, diproses di tempat yang baik dan dengan cara yang baik pula maka keluarannya otomatis bagus. Yang seharusnya disebut unggul adalah apabila masukan biasa-biasa saja atau kurang baik tetapi diproses ditempat yang baik dengan cara yang baik pula sehingga keluarannya bagus.

Oleh karena itu penyelenggaraan sekolah unggulan harus segera direstrukturisasi agar benar-benar bisa melahirkan manusia unggul yang bermanfaat bagi negeri ini. Bibit-bibit manusia unggul di Indonesia cukup besar karena prefalensi anak berbakat sekitar 2 %, artinya setiap 1.000 orang terdapat 20 anak berbakat (Daniel P. Hallahan dan James M. Kauffman, Exceptional Children: Introduction To Special Education, New Jersey: Prentice-Hall international, Inc., 1991), hh. 6-7). Berdasarkan prakiraan Lembaga Demografi UI (1991) penduduk usia sekolah di Indonesia tahun 2000 diperkirakan sebesar 76.478.249, maka kita akan memiliki anak berbakat (baca: unggul) sebanyak 1.529.565 orang. Jumlah ini cukup untuk memenuhi kebutuhan pimpinan dari tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan.

Restrukturisasi Sekolah Unggulan
Maka konsep sekolah unggulan yang tidak unggul ini harus segera direstrukturisasi. Restrukrutisasi sekolah unggulan yang ditawarkan adalah sebagai berikut: pertama, program sekolah unggulan tidak perlu memisahkan antara anak yang memiliki bakat keunggulan dengan anak yang tidak memiliki bakat keunggulan. Kelas harus dibuat heterogen sehingga anak yang memiliki bakat keunggulan bisa bergaul dan bersosialisasi dengan semua orang dari tingkatan dan latar berlakang yang beraneka ragam. Pelaksanaan pembelajaran harus menyatu dengan kelas biasa, hanya saja siswa yang memiliki bakat keunggulan tertentu disalurkan dan dikembangkan bersama-sama dengan anak yang memiliki bakat keunggulan serupa. Misalnya anak yang memiliki bakat keunggulan seni tetap masuk dalam kelas reguler, namun diberi pengayaan pelajaran seni.

Kedua, dasar pemilihan keunggulan tidak hanya didasarkan pada kemampuan intelegensi dalam lingkup sempit yang berupa kemampuan logika-matematika seperti yang diwujudkan dalam test IQ. Keunggulan seseorang dapat dijaring melalui berbagai keberbakatan seperti yanag hingga kini dikenal adanya 8 macan.

Ketiga, sekolah unggulan jangan hanya menjaring anak yang kaya saja tetapi menjaring semua anak yang memiliki bakat keunggulan dari semua kalangan. Berbagai sekolah unggulan yang dikembangkan di Amerika justru untuk membela kalangan miskin. Misalnya Effectif School yang dikembangkan awal 1980-an oleh Ronald Edmonds di Harvard University adalah untuk membela anak dari kalangan miskin karena prestasinya tak kalah dengan anak kaya. Demikian pula dengan School Development Program yang dikembangkan oleh James Comer ditujukan untuk meningkatkan pendidikan bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin. Accellerated School yang diciptakan oleh Henry Levin dari Standford University juga memfokuskan untuk memacu prestasi yang tinggi pada siswa kurang beruntung atau siswa beresiko. Essential school yang diciptakan oleh Theodore Sizer dari Brown University, ditujukan untuk memenuhi kebutuhan siswa kurang mampu.

Keempat, sekolah unggulan harus memiliki model manajemen sekolah yang unggul yaitu yang melibatkan partisipasi semua stakeholder sekolah, memiliki kepemimpinan yang kuat, memiliki budaya sekolah yang kuat, mengutamakan pelayanan pada siswa, menghargasi prestasi setiap siswa berdasar kondisinya masing-masing, terpenuhinya harapan siswa dan berbagai pihak terkait dengan memuaskan.

Itu semua akan tercapai apabila pengelolaan sekolah telah mandiri di atas pundak sekolah sendiri bukan ditentukan oleh birokrasi yang lebih tinggi. Saat ini amat tepat untuk mengembangkan sekolah unggulan karena terdapat dua suprastruktur yang mendukung. Pertama, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dimana pendidikan termasuk salah satu bidang yang didesentralisasikan. Dengan adanya kedekatan birokrasi antara sekolah dengan Kabupaten/Kota diharapkan perhatian pemerintah daerah terhadap pengembangan sekolah unggulan semakin serius.

Kedua, adanya UU No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 yang didalamnya memuat bahwa salah satu program pendidikan pra-sekolah, pendidikan dasar dan pendidikan menengah adalah terwujudnya pendidikan berbasis masyarakat/sekolah. Melalui pendidikan berbasis masyarakat/sekolah inilah warga sekolah akan memiliki kekuasaan penuh dalam mengelola sekolah. Setiap sekolah akan menjadi sekolah unggulan apabila diberi wewenang untuk mengelola dirinya sendiri dan diberi tanggung jawab penuh. Selama sekolah-sekolah hanya dijadikan alat oleh birokrasi di atasnya (baca: dinas pendidikan) maka sekolah tidak akan pernah menjadi sekolah unggulan. Bisa saja semua sekolah menjadi sekolah unggulan yang berbeda-beda berdasarkan pontensi dan kebutuhan warganya. Apabila semua sekolah telah menjadi sekolah unggulan maka tidak sulit bagi negeri ini untuk bangkit dari keterpurukannya. Nurkolis, Dosen Akademi Pariwisata Nusantara Jaya di Jakarta

Read More… Read More…

Guru MAsa DePAn

- - 0 Comments

GURU MASA DEPAN Bangsa kita, masyarakat kita, sangat membutuhkan para guru-guru yang mampu mengangkat citra dan marwah pendidikan kita yang terkesan sudah carum marut, dan seperti benang kusut. Sehingga bagaimana harus dimulai, kapan dan siapa yang memulainya, dan dari mana harus dimulai.



Kalaulah kita masing-masing menyadari, dan kalaulah kita masih memiliki rasa keperdulian, dan kalaulah kita mau berbagi rasa, dan kalaulah mau kita berteposeliro, maka pendidikan kita seperti disebutkan di atas, akan dapat dianulir. Oleh sebab itu semua kita memiliki satu persepsi, satu langkah dan satu tujuan bagaimana kita berusaha mengangkat "batang terendam" tersebut, menjadi pendidikan bermutu, dan tentunya diharapkan mampu untuk mengangkat peringkat dan citra pendidikan termasuk terendah di Asia.

Satu hal yang akan menjadi titik perhatian kita adalah "bagaimana merancang guru masa depan". Guru masa depan adalah guru yang memiliki kemampuan, dan ketrampilan bagaimana dapat menciptakan hasil pembelajaran secara optimal, selanjutnya memiliki kepekaan di dalam membaca tanda-tanda zaman, serta memiliki wawasan intelektual dan berpikiran maju, tidak pernah merasa puas dengan ilmu yang ada padanya.

Bagaimana sebenarnya guru masa depan seperti yang diidamkan oleh banyak pihak, diantaranya adalah:

Planner, artinya guru memiliki program kerja pribadi yang jelas, program kerja tersebut tidak hanya berupa program rutin, misalnya menyiapkan seperangkat dokumen pembelajaran seperti Program Semester, Satuan Pelajaran, LKS, dan sebagainya. Akan tetapi guru harus merencanakan bagaimana setiap pembelajaran yang dilakukan berhasil maksimal, dan tentunya apa dan bagaimana rencana yang dilakukan, dan sudah terprogram secara baik;


Inovator, artinya memiliki kemauan untuk melakukan pembaharuan dan pembaharuan dimaksud berkenaan dengan pola pembelajaran, termasuk di dalamnya metode mengajar, media pembelajaran, system dan alat evaluasi, serta nurturant effect lainnya. Secara individu maupun bersama-sama mampu untuk merubah pola lama, yang selama ini tidak memberikan hasil maksimal, dengan merubah kepada pola baru pembelajaran, maka akan berdampak kepada hasil yang lebih maksimal;


Motivator, artinya guru masa depan mampu memiliki motivasi untuk terus belajar dan belajar, dan tentunya juga akan memberikan motivasi kepada anak didik untuk belajar dan terus belajar sebagaimana dicontohkan oleh gurunya;


Capable personal, maksudnya guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan dan ketrampilan serta sikap yang lebih mantap dan memadai sehinga mampu mengola proses pembelajaran secara efektif;

Developer, artinya guru mau untuk terus mengembangkan diri, dan tentunya mau pula menularkan kemampuan dan keterampilan kepada anak didiknya dan untuk semua orang. Guru masa depan haus akan menimba ketrampilan, dan bersikap peka terhadap perkembangan IPTEKS, misalnya mampu dan terampil mendayagunakan computer, internet, dan berbagai model pembelajaran multi media.


Jadi, guru masa depan adalah guru bertindak sebagai fasilitator; pelindung; pembimbing dan punya figur yang baik (disiplin, loyal, bertanggung jawab, kreatif, melayani sesuai dengan visi, misi yang diinginkan sekolah); termotivasi menyediakan pengalaman belajar bermakna untuk mengalami perubahan belajar berdasarkan keterampilan yang dimiliki siswa dengan berfokus menjadikan kelas yang konduktif secara intelektual fisik dan sosial untuk belajar; menguasai materi, kelas, dan teknologi; punya sikap berciri khas "The Habits for Highly Effective People" dan "Quantum Teaching" serta pendekatan humanis terhadap siswa; Guru menguasai komputer, bahasa, dan psikologi mengajar untuk diterapkan di kelas secara proporsional. Diberlakukan skema rewards dan penegakan disiplin yang humanis terhadap guru dan karyawan.

Guru masa depan juga memiliki kemampuan untuk mengembangkan kemampuan para siswanya melalui pemahaman, keaktifan, pembelajaran sesuai kemajuan zaman dengan mengembangkan keterampilan hidup agar siswa memiliki sikap kemandirian, perilaku adaptif, koperatif, kompetitif dalam menghadapi tantangan, tuntutan kehidupan sehari-hari. Secara efektif menunjukkan motivasi, percaya diri serta mampu mandiri dan dapat bekerja sama. Selain itu guru masa depan juga dapat menumbuhkembangkan sikap, disiplin, bertanggung jawab, memiliki etika moral, dan memiliki sikap kepedulian yang tinggi, dan memupuk kemampuan otodidak anak didik, memberikan reward ataupun apresiasi terhadap siswa agar mereka bangga akan sekolahnya dan terdidik juga untuk mau menghargai orang lain baik pendapat maupun prestasinya. Kerendahan hati juga perlu dipupuk agar tidak terlalu overmotivated sehingga menjadi congkak. Diberikan pelatihan berpikir kritis dan strategi belajar dengan manajemen waktu yang sesuai serta pelatihan cara mengendalikan emosi agar IQ, EQ dan ke dewasaan sosial siswa ber imbang.

Selain itu, guru masa depan juga harus memiliki keterampilan dasar pembelajaran, kualifikasi keilmuannya juga optimal, performance di dalam kelas maupun luar kelas tidak diragukan. Tentunya sebagai guru masa depan bangga dengan profesinya, dan akan tetap setia menjunjung tinggi kode etik profesinya.

Oleh sebab itu, untuk menjadi guru masa depan diperlukan kualifikasi khusus, dan barangkali tidak akan terlepas dari relung hati dan sanubarinya, bahwa mereka memilih profesi guru sebagai pilihan utama dan pertama. Weternik memberikan dengan istilah rouping atau "pangilan hati nurani" Rouping inilah yang merupakan dasar bagi seseorang guru untuk menyebutkan dirinya sebagai "GURU MASA DEPAN". Semoga.


Read More… Read More…

buat apa sekolah??

- - 0 Comments

Seorang ibu berkata pada anaknya" nak kalau sudah besar kamu harus jadi pegawai negeri sipil (PNS) biar hidupmu tidak susah, jangan meniru bapak dan ibumu yang tiap hari harus jualan sayur kepasar, biar bapak dan ibu saja yang bodoh dan susah cari uang liat tetangga kita itu sekolahannya tinggi coba lihat hidupnya enak kamu harus mencontoh dia" . Sementara dilain pihak seorang ibu berkata " buat apa sekolah tinggi-tinggi ? dokter sudah ada, menteri sudah ada, guru banyak, presiden sudah ada, mendingan uang sekolahmu dibelikan sapi biar beranak-pinak lebih jelas hasilnya dari pada harus dibayarkan untuk sekolah, coba lihat si lukman itu sekolah jauh-jauh tapi setelah selesai nganggur dan akhirnya sekarang jadi sopir anggutan.." !



Sadar atau tidak, ditingkatan masyarakat opini yang terbangun mengenai dunia pendidikan (sekolah) seperti yang diilustrasikan diatas. Masyarakat menilai bahwa salah satu alat keberhasilan seseorang bersekolah adalah sejauh mana dia mampu membawa dirinya pada status social yang tinggi dimasyarakat indikasinya adalah apakah seseorang itu bekerja dengan berpenampilan elegan (berdasi, pake sepatu mengkilap, dan membawa tas kantor) atau tidak, dan apakah seseorang tersebut bisa kaya dengan pekerjaannya? Kalau seseorang yang telah menempuh jenjang pendidikan (SLTA, D1, D2, D3, S1, S2, dan S3) lulus dan setelah itu menganggur maka dia telah gagal bersekolah. Hal semacam inilah yang sering ditemui di masyarakat kita.

Mencermati hal diatas, apakah memang praktek-praktek pendidikan yang selama ini dijalani ada kesalahan proses?, mengapa dunia pendidikan belum bisa memberikan pengaruh pencerahan ditingkatan masyarakat, lantas apa yang selama ini dilakukannya oleh dunia pendidikan kita? kalaupun yang diopinikan masyarakat itu adalah kesalahan berpikir, mengapa kualitas pendidikan di Indonesia tidak lebih baik dari negara lainnya, bukankah setiap hari upaya perbaikan pendidikan terus dilakukan mulai dari seminar sampai dengan pembuatan undang-undang system pendidikan nasional? Atau inilah yang dimaksud oleh Ivan Ilich bahwa "SEKOLAH itu lebih berbahaya daripada nuklir. Ia adalah candu! Bebaskan warga dari sekolah."

Jelasnya pendidikan (sekolah) bukanlah suatu proses untuk mempersiapkan manusia-manusia penghuni pabrik, berpenampilan elegan apalagi hanya sebatas regenerasi pegawai negeri sipil (PNS), tapi lebih dari itu adalah pendidikan merupakan upaya bagaimana memanusiakan manusia. Tentunya proses tersebut bukan hal yang sederhana butuh komitmen yang kuat dari setiap komponen pendidikan khusunya pemerintah bagaimana memposisikan pendidikan sebagai inventasi jangka panjang dengan produk manusia-manusia masa depan yang hadal, kritis dan bertanggung jawab. Kalau dunia pendidikan hanya diposisikan sebagai pelengkap dunia industri maka bisa jadi manusia-manusia Indonesia kedepan adalah manusia yang kapitalistik, coba perhatikan menjelang masa-masa penerimaan siswa/mahasiswa tahun ajaran baru dipinggir jalan sering kita temukan mulai dari spanduk, baliho, liflet, brosur, pamlet dan stiker yang bertuliskan slogan yang kapitalistik seperti " lulus dijamin langsung kerja, kalau tidak uang kembali 100%, adapula yang bertuliskan "sekolah hanya untuk bekerja, disini tempatnya" apalagi banyaknya sekolah-sekolah yang bergaya industri semakin memperparah citra dunia pendidikan yang cenderung lebih berorientasi pada pengakumulasian modal daripada pemenuhan kualitas pelayanan akademik yang diberikan. Akhirnya terlihat dengan jelas bagaimana mutu SDM Indonesia yang jauh dari harapan seperti dilaporkan oleh studi UNDP tahun 2000 yang menyatakan bahwa Human Development Indeks (HDI) Indonesia menempati urutan ke 109 dari 174 negara atau data tahun 2001 menempati urutan ke 102 dari 162 negara.

Jadi, tidak mengherankan kalau ditingkatan masyarakat memandang dunia pendidikan (sekolah) sampai hari ini seperti layaknya sebagai institusi penyalur pegawai negeri sipil (PNS) indikasi dari pandangangan tersebut bisa dilihat bagaimana animo masyarakat yang cukup tinggi ketika pembukaan pendaftaran calon pegawai negeri sipil (CPNS) seolah-olah status/gelar akademik yang mereka capai (D1,D2,D3,S1,S2, dan S3) hanya cocok untuk kerja-kerja kantoran (PNS) hal inipun merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tingkat pengangguran kaum terdidik setiap tahunnya bertambah sebab kesalahan motiv sekolah sebagai akibat dari prilaku sekolah yang kapitalistik akhirnya banyak melahirkan kaum terdidik yang bermentalitas "Gengsi gede-gedean"

Beberapa hal diatas setidaknya menjadi renungan bagi dunia pendidikan kita bahwa pendidikan bukanlah sesederhana dengan hanya mengupulkan orang lantas diceramahi setelah itu pulang kerumah mengerjakan tugas besoknya kesekolah lagi sampai kelulusan dicapainya (sekolah berbasis jalan tol), kalau aktivitas sekolah hanya monoton semacam ini maka pilihan untuk bersekolah merupakan pilihan yang sangat merugikan akan tetapi kalau proses yang dijalankannya tidak seperti sekolah jalan tol maka pilihan untuk beinvestasi di dunia pendidikan dengan jalan menyekolahkan anak-anak kita merupakan pilihan yang sangat cerdas. Oleh sebab itu sudah saatnya dunia pendidikan kita mereformasi diri secara serius khusunya bagaimana pembelajaran di sekolah itu bisa dijalankan melalui prinsip penyadaran kritis sehingga melalui kekuatan kesadaran kritis bisa menganalisis, mengaitkan bahkan menyimpulkan bahwa persoalan kemiskinan, pengangguran, dan lainnya merupakan persoalan system bukan karena persoalan jenjang sekolah. Inilah yang seharusnya menjadi muatan penting untuk diinternalisasikan disetiap diri siswa.

Selain itu, mengembalikan kepercayaan masyarakat bahwa sekolah itu tidak sekedar tahapan untuk bekerja kantoran menjadi salah satu agenda dunia pendidikan yang harus segera dilakukan sehingga masyarakatpun bisa memahami secara holistik untuk apa pendidikan itu dilahirkan. Agenda semacam ini akan bisa dijalankan secara baik kalau masing-masing insitusi pendidikan bertindak secara fair bagaimana proses penerimaan siswa baru tidak lagi memakai slogan yang menyesatkan. Mempertahankan sekolah yang kapitalistik sama saja menggerogoti minat dan motivasi masyarakat untuk turut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

* Penulis adalah Mahsiswa sekolah tinggi teknologi adisucjipto STTA yogyakarta


Read More… Read More…

sekolah milik siapa sih???????

- - 0 Comments

Nina, seorang calon siswa baru di sebuah SMP negeri. Tidak seperti siswa lainnya, Nina tidak merasakan kekhawatiran tidak diterima ketika dia mendafarkan dirinya ke SMP favorit di kotanya. Nina yakin 100% bahwa walaupun NEM yang dia peroleh waktu di SD tidak akan melewati passing grade yang ditentukan, dia pasti akan dapat masuk ke SMP tersebut dengan mudah.



Dia bercerita kepada teman-temannya bahwa keyakinannya dapat masuk ke SMP negeri dengan mudah disebabkan karena dia mempunyai kerabat yang mengajar di sekolah tersebut. Dia bercerita bahwa, Kerabatnya telah menitipkan dirinya kepada Kepala SMP bersangkutan dan kepada Panitia PSB agar namanya tercatat sebagai murid yang lolos seleksi. Walaupun namanya tersebut tidak tercantum dalam siswa yang terdaftar atau kalaupun daftar tetapi tidak lolos dia pasti tetap dapat jatah kursi.

Nina menceritakan hal itu kepada Budi teman akrabnya, yang kebetulan juga bersamaan dengan dia untuk melanjutkan ke SMP yang sama. Budi tidak seberuntung Nina, karena Budi hanyalah anak seorang buruh tani. Sehingga orang tuanya tidak mempunyai daya dan kekuatan apapun untuk juga menitipkan dirinya agar dapat diterima di SMP tersebut dengan mulus seperti Nina. Getir dan pahit sekali perasaan Budi ketika mendengar cerita ceria dari Nina. Hatinya seperti ditusuk-tusuk ketika mendengar kemudahan yang diperoleh Nina.

Namun Budi menyadari kelemahan dan ketidakmampuan orang tuanya, dia hanya bisa bersabar diri dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Dia yakin bahwa usahanya tidak sia-sia dan dia yakin Tuhan Maha Melihat dan Maha Tahu mana perbuatan yang lebih mulya, mana perbuatan yang benar. Biarlah pengadilan di akhirat kelak yang akan membuktikan.

Nina bisa tenang (walaupun tanpa kehormatan) karena dia dapat masuk dengan jaminan 100%. Kesaktian kerabatnyalah yang menjaminnya dapat duduk di kursi dan belajar dengan tenang di SMP tersebut. Berbeda dengan Budi yang bila NEMnya tidak memenuhi passing grade dia akan terjungkal dan harus menerima kenyataan pahit untuk belajar di sekolah swasta. Sekolah yang dinilai selama ini sebagai the second school baik dari segi mutu guru atau mutu pendidikannya. Sekolah swasta yang paling ditakuti oleh orang tuanya, karena biaya DSP bulanannya melebihi biaya di SMP negeri. Sekolah yang mau atau tidak mau harus ditempuh yang justeru biasanya oleh orang kebanyakan.

Jumlah siswa yang bernasib "mujur" tapi tidak jujur seperti Nina sebenarnya lebih sedikit daripada jumlah siswa yang "jujur" tapi tidak mujur seperti Budi. Ironisnya hal tersebut seperti mendominasi pada setiap tahun ajaran baru. Ada Nina yang puterinya pejabat anu, Nina titipan dari anggota dewan, Nina yang anaknya tokoh masyarakat anu, Nina yang cucu dari kiai anu, Nina yang anaknya aktifis anu dan sebagainya.

Dari kenyataan di atas timbul pertanyaan, sekolah itu milik siapa? Sekolah yang seharusnya menjadi milik semua lapisan masyarakat atau public property telah berubah menjadi milik pribadi alias private property. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat masyarakat untuk mendapat pendidikan sewajarnya untuk menjadi manusia seutuhnya. Berubah fungsi menjadi tempat segelintir orang yang merasa mempunyai kekuasaan untuk dapat memasukan anak atau kerabatnya dengan mudah dengan tidak pernah mempertimbangkan keadilan dan perasaan orang yang tidak mampu.

Sekolah yang seharusnya menjadikan tempat untuk menjadikan siswa belajar bagaimana cara belajar (learning to learn) menggali nilai dan kompetensi diri telah dipelintir menjadi bagaimana cara menggali ketidak benaran. Siswa yang seharusnya diajari bagaimana melakukan (learning to do) hal-hal yang baik telah terpeleset menjadi bagaimana melakukan ketidakbaikan menjadi "terlihat" seperti baik. Sekolah yang seharusnya menjadikan siswa dapat belajar bagaimana dia hidup menjadi dirinya sendiri (learning to be) dengan dasar kejujuran telah tergelincir menjadi bagaimana agar dia tetap hidup dengan segala cara agar dia tetap mendapatkan kemudahan. Sekolah yang seharusnya mengajarkan kepada anak didiknya bagaimana mereka dapat hidup bersama dengan masyarakatnya atas dasar kesamaan hak dan keadilan (learning to live together) telah terhapus oleh pendidikan bagaimana menutup jati dirinya dengan ego lebih dari masyarakat lainnya karena kekuasaan yang dipunyai kerabatnya.

Sekolah yang seharusnya menjadi milik masyarakat telah berubah kepemilikan menjadi milik kelompok tertentu yang memegang kekuasaan di lingkungan sekolah. Kita melihat dengan hati miris, bagaimana sekolah menentukan DSP alias Dana Sumbangan Pembangunan tanpa melalui rapat. Secara sepihak meminta kepada orang tua murid untuk melunasi DSP plus seragam batik, seragam putih biru/abu-abu, sepatu, atribut dan lain sebagainya, sekian ratus ribu. Dana terus berlanjut ketika anaknya telah resmi menjadi siswa sekolah tersebut, MOS, iuran pramuka, iuran perpisahan. Anehnya dana tersebut tidak jelas pertanggungjawabannya!

Hal itu mungkin tidak bermasalah bagi orang tua murid yang mempunyai penghasilan tetap. Tapi bagaimana dengan orang tua yang berperan sebagai buruh tani, pedagang asongan atau tukang beca? Haruskah anak-anak mereka tersingkir oleh kebijakan sekolah yang tidak bijak? Bukan hal yang aneh pada setiap tahun ajaran baru pegadaian, menjadi ramai oleh orang tua yang menggadaikan hartanya demi sekolah anak-anaknya. Bukan hal yang aneh pula ketika sekolah telah menjadi pasar bebas tempat para kapitalis memperdagangkan jualan dan menuai keuntungannya.

Mungkin perjuangan dan pengorbanan orang tua tidak sia-sia bila penggunaan dari uang hasil mandi keringat dan air mata tersebut sesuai dengan peruntukannya atau sesuai dengan kualitas barang yang diterima anaknya. Kenyataannya? Ambil satu kasus sepatu hitam warrior yang dipakai anaknya, tidak sampai 2 bulan sudah amburadul. Ketika penulis menanyakan hal itu, seorang guru yang bertanggung jawab atas pengadaan sepatu tersebut dengan enteng menjawab. "Wajar aja kan harganya hanya dua puluh lima ribu perak jadi kualitasnya jelek seperti itu!"

Bila kondisi seperti di atas yang hanya menguntungkan satu pihak tertentu saja tanpa melibatkan kepentingan hajat hidup orang banyak terus berlanjut, di negeri yang katanya berdasarkan Panca Sila ini bukan hal yang aneh pendidikan kita peringkatnya akan terus terjun bebas ke peringkat yang lebih rendah lagi. Padahal kita ketahui peringkat pendidikan kita diantara 12 negara Asia, peringkatnya berada pada peringkat 12 alias palig bontot!

*Aktifis Milis MP2I (Masyarakat Peduli Pendidikan Indonesia) Bandung

Read More… Read More…